Rabu, 12 November 2014

Fase Kritis Terjadinya Infeksi Virus Tungro



Fase Kritis Terjadinya Infeksi Virus Tungro
Pusat Penelitian Dan Pengembangan Tanman Pangan Kementerian Pertanian Republik Indonesia
Keberadaan populasi awal wereng hijau (vektor virus tungro) akan menentukan kepadatan populasi generasi selanjutnya jika tersedia cukup makanan dan kondisi lingkungan yang sesuai. Wereng hijau masih dapat bertahan hidup pada singgang (ratun tanaman padi) dan gulma di sekitar pertanaman. Di suatu daerah dengan pola tanam yang tidak serempak, akan selalu tersedia makanan dan tempat berkembang bagi wereng hijau. Ketersediaan sumber inokulum (tanaman terinfeksi atau tanaman bergejala tungro; gulma terinfeksi) merupakan faktor utama terjadinya infeksi tungro jika terdapat populasi wereng hijau.

Infeksi tungro sudah dapat terjadi di persemaian, khususnya pada persemaian terbuka atau persemaian yang dibuat di lahan sekitar atau dalam pertanaman yang sebelumnya terinfeksi tungro. Di wilayah endemis tungro dengan pola tanam tidak serempak, persemaian terbuka yang dibuat sebelum pengolahan lahan akan menjadi sasaran utama infeksi tungro. Keberadaan wereng hijau dan sumber inokulum awal menjadi penyebab terjadinya infeksi di persemaian. Gejala tungro di persemaian belum dapat dilihat secara visual. Gejala tungro akan terlihat setelah 15 - 20 hari setelah tanam (HST) atau 2 - 3 minggu setalah tanam (MST).

Tanaman terinfeksi pada 2 - 3 MST menjadi sumber inokulum primer untuk infeksi ke tanaman lain yang didukung oleh keberadaan populasi wereng hijau generasi pertama atau wereng hijau migran dari pertanamn lain khususnya di wilayah dengan pola tanam tidak serempak. Eradikasi sumber inokulum primer sejak dini merupakan tindakan pengendalian yang utama harus dilakukan untuk mencegah dan menekan terjadinya penularan sekunder di pertanaman. Perkembangan populasi wereng hijau akan meningkat hingga 4 MST dan akan menurun memasuki 6 MST.

Infeksi virus tungro masih dapat terjadi pada 6 MST (30 - 35 HST) sebelum tanaman memasuki fase generatif jika masih terdapat sumber inokulum dan populasi vektor di pertanaman atau terjadi migrasi wereng hijau dari pertanaman terinfeksi di sekitarnya. Gejala tungro hasil infeksi pada 6 MST umumnya tidak terlihat, karena masa inkubasi gejala bertepatan dengan pertanaman masuk fase generatif. Namun demikian, sering terlihat adanya kekerdilan pada rumpun tanaman jika terjadi intensitas infeksi yang tinggi. Gejala tungro akan muncul saat tumbuh ratun, jika tidak segera dilakukan pengolahan lahan setelah panen dan akan menjadi sumber inokulum bagi musim tanam berikutnya.

Sumber: Dr. Heru Praptana (Loka Penelitian Penyakit Tungro)

Selasa, 11 November 2014

Kenali Gejala Awal Penyakit Bulai dan Tentukan Teknik Pengendaliannya



Kenali Gejala Awal Penyakit Bulai dan Tentukan Teknik Pengendaliannya
Pusat Penelitian Dan Pengembangan Tanman Pangan Kementerian Pertanian Republik Indonesia
Meningkatnya populasi OPT akibat perubahan iklim menuntut adanya varietas jagung yang adaptif terhadap perkembangan dinamika hama dan penyakit di lapangan. Penyakit bulai misalnya, merupakan penyakit utama pada tanaman jagung yang apabila tidak tertangani dengan baik akan menyebabkan kehilangan hasil sampai 100%. Peningkatan suhu dan kelembaban akhir-akhir ini diperkirakan akan semakin mempercepat perkembangbiakan dan penyebaran spora bulai melalui media udara, tanah ataupun benih. Ciri umum yang ditimbulkan dari serangan bulai adalah munculnya butiran putih pada daun yang merupakan spora cendawan pathogen tersebut. Penyakit ini menyerang pada tanaman jagung varietas rentan hama penyakit dan umur muda (1-2 MST) maka kehilangan hasil akibat infeksi penyakit ini dapat mencapai 100% (Puso). Masa kritis tanaman jagung terserang bulai berlangsung sejak benih ditanam hingga usia 40 hari.

Sejumlah daerah di Indonesia seperti Bengkayang, Kalimantan Barat, Kediri Jawa Timur dan Sumatera Utara dilaporkan telah menjadi daerah endemic bulai. Upaya pencegahan yang dilakukan petani melalui perlakuan benih dengan fungisida berbahan aktif metalaksil dilaporkan tidak membawa hasil karena adanya efek resistensi atau kekebalan terhadap bahan aktif tersebut. Selain penyakit, serangan hama utama jagung seperti penggerek batang dan kumbang bubuk. Kerusakan biji oleh kumbang bubuk dapat mencapai 85% dengan penyusutan bobot biji 17%. Siklus hidup berkisar antara 30-45 hari pada suhu optimum 37oC, kadar air biji 14% dan kelembaban nisbi 70%. Perkembangan populasi sangat cepat bila kadar air biji jagung yang disimpan di atas 15%.

Sumber: Bunyamin Z, Balai Penelitian Tanaman Serealia

Senin, 10 November 2014

Penyebaran Penyakit Hawar Pelepah Padi dan Strategi Pengendaliannya



Penyebaran Penyakit Hawar Pelepah Padi dan Strategi Pengendaliannya
Pusat Penelitian Dan Pengembangan Tanman Pangan Kementerian Pertanian Republik Indonesia
Penyakit hawar pelepah padi disebabkan oleh jamur Rhizoctonia solani Kühn (AG-1), merupakan salah satu penyakit yang saat ini berkembang dan tersebar luas di daerah-daerah penghasil padi di Indonesia. Penanaman secara luas padi varietas unggul tipe pendek beranakan banyak dan dipupuk dengan dosis tinggi terutama urea, dapat meningkatkan keparahan penyakit hawar pelepah. Penyakit hawar pelepah menjadi semakin penting peranannya di dalam sistem produksi padi sawah, terutama di daerah pertanian padi yang intensif.

Oleh karena itu, perlu analisis komponen epidemi yang mempengaruhi perkembangan hawar pelepah untuk menentukan strategi pengelolaannya. Pengamatan menunjukkan bahwa hawar pelepah berkembang lebih parah di daerah rendah (0-200 m dpl.) dari pada di daerah sedang dan tinggi,  keparahan penyakit terlihat semakin meningkat pada varietas padi tipe pendek beranakan banyak. Inokulum awal berupa sklerosia dan miselium dalam seresah tanaman mempunyai peranan penting dalam perkembangan penyakit di pertanaman.

Akan tetapi, sklerosia dapat gagal berkecambah karena dikoloni oleh berbagai species bakteri antagonis dalam tanah. Bakteri yang bersifat antagonis terhadap R. solani dapat diisolasi dari tanah sawah yang mengandung kompos. Kompos matang dapat menekan perkecambahan sklerosia sebesar 14%, sedangkan pada kompos matang yang diperkaya dengan bakteri antagonis dapat menekan perkecambahan sklerosia sebesar 28%. Kelembaban relatif dan suhu di sekitar tanaman padi mempengaruhi perkembangan penyakit hawar pelepah. Kelembaban relatif menurun 2,8% ketika pengairan hanya dilakukan dengan cara penggenangan pada parit keliling, dan turun sebesar 4,4% ketika dilakukan penggenangan lahan 1 kali seminggu. Teknologi pengendalian penyakit hawar pelepah dengan menerapkan beberapa komponen epidemik secara terpadu mempunyai peluang keberhasilan tinggi dalam menekan perkembangan penyakit.

Sumber: Bambang Nuryanto (Peneliti Balai Besar Penelitian Tanaman Padi)

Minggu, 09 November 2014

Kenali Gejala Penyakit Antraknosa Tanaman Sorgum



Kenali Gejala Penyakit Antraknosa Tanaman Sorgum
Pusat Penelitian Dan Pengembangan Tanman Pangan Kementerian Pertanian Republik Indonesia
Penyakit antraknosa pada tanaman sorgum disebabkan oleh cendawan Colletrotichum graminicola. Gejala penyakit ini pada awal infeksi berupa bintik-bintik kecil dan mengalami pelukaan sampai 5 mm, bintik kemudian membesar dan menyatu berwarna ke merah-merahan sampai keunguan atau kekuningan, kemudian daun menjadi layu. Infeksi awal terjadi pada daun bagian bawah, kemudian menyebar ke bagian atas dan juga pada batang serta tangkai malai. Kehilangan hasil yang disebabkan oleh penyakit antraknosa pada tanaman sorgum dapat mencapai 50%. Cendawan ini mampu bertahan hidup selain pada tanaman sorgum juga pada tanaman inang yang lain atau pada jaringan tanaman yang telah mati. Spora cendawan Colletotrichum dapat menyebar melalui angin atau percikan air hujan dan jika spora jatuh/menempel pada inang yang cocok, dan didukung oleh kondisi lingkungan sesuai, maka cendawan akan berkembang dengan cepat.

Pengendalian penyakit ini dapat dilakukan dengan melakukan rotasi pertanaman dengan tanaman lain disamping penggunaan varietas tahan. Selain itu Sanitasi lingkungan di sekitar pertanaman sorgum juga perlu mendapat perhatian. Apabila metode pengendalian diatas tidak berhasil maka direkomendasikan menggunaan fungisida yang efektif.

Sumber: Balai Penelitian Tanaman Serealia

Sabtu, 08 November 2014

Serangan Hama Lalat Bibit Pada Kedelai Setelah Padi Sawah dan Antisipasinya



Serangan Hama Lalat Bibit Pada Kedelai Setelah Padi Sawah dan Antisipasinya
Pusat Penelitian Dan Pengembangan Tanman Pangan Kementerian Pertanian Republik Indonesia
Sebanyak 60% produksi kedelai di Indonesia di tanam di lahan sawah pada pola tanam padi-padi-kedelai.  Untuk menghadapi musim tanam kedelai di lahan sawah pada musim kemarau ini, sangat rawan mendapat serangan hama lalat bibit kacang Ophiomyia phaseoli Tryon.  Tingkat serangan hama ini dapat mencapai 80% bahkan mampu mengakibatkan puso apabila populasi lalat bibit cukup tinggi.

Catatan redaksi menyebutkan bahwa serangan lalat kacang ini ditandai oleh adanya bintik-bintik putih pada keping biji, daun pertama atau kedua. Bintik-bintik tersebut adalah bekas tusukan alat peletak telur lalat kacang betina. Tanda serangan larva pada keping biji dan daun berupa garis berkelok-kelok berwarna coklat. Pada batang, ulat menggerek melengkung mengelilingi batang di bawah kulit batang dan akhirnya berkepompong pada pangkal batang. Akibat gerekan tersebut tanaman menjadi layu, mengering, dan mati. Lalat kacang betina meletakkan telur pada tanaman muda yang baru tumbuh. Telur diletakkan di dalam lubang tusukan antara epidermis atas dan bawah keping biji atau disisip­kan dalam jaringan mesofil dekat pangkal keping biji atau pangkal helai daun pertama dan kedua.  Telur berwarna putih seperti mutiara dan berbentuk lonjong dengan ukuran panjang 0,31 mm dan lebar 0,15 mm. Setelah dua hari, telur menetas dan keluar larva. Larva lalat kacang berukuran kecil, mula-mula berwarna putih kuning kemudian berubah menjadi kecoklatan. Larva masuk ke dalam keping biji atau pangkal helai daun pertama dan kedua, kemudian membuat lubang gerekan sambil makan.  Selanjutnya larva menggerek batang melalui kulit batang sampai ke pangkal akar kemu­dian berkepompong di bawah epidermis kulit batang atau kulit akar pada pangkal batang atau pangkal akar. Pada pertumbuhan penuh, panjang tubuh larva mencapai 3,75 mm. Kepompong mula-mula berwarna kuning kemudian berubah menjadi kecoklat-coklatan.

Selain kedelai, lalat kacang juga dapat menyerang kacang hijau, kacang merah, kacang uci, kacang tunggak, kacang hiris, orok-orok, Vigna kosei, Phaseolus mungo, P. trilobus dan P. Semierectus.

Pengendalian hama lalat bibit kacang ini dapat dilakukan dengan : a) menanam kedelai secara serentak dalam suatu areal luas, b) pemanfaatan mulsa jerami sebagai penutup tanah dapat mengurang intensitas serangan lalat bibit lebih dari 50%,  c)  untuk daerah endemik serangan lalat bibit kacang dapat di lakukan dengan perlakuan benih dengan insektisida fipronil dan carbosulfan, d) penyemprotan insektisida pada umur 7 – 9 hari dengan insektisida dekametrin, permetrin, dan carbosulfan.

Sumber: Prof. Marwoto (Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi)